Pages

Permintaan Bahan

Permintaan Bahan
Jama'ah Wahidiyah Avisena Jak - Sel

Sabtu, 21 Juli 2012

AJARAN WAHIDIYAH



A. PENDAHULUAN
Tujuan pokok perjuangan Wahidiyah adalah mengajak ummat masyarakat untuk segera kembali sadar dan mengabdikan diri kepada Alloh Subhanahu Wata’ala dengan mengikuti dan menyadari kepada Junjungan kita Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam) syar’an wahaqiqotan, zhohiron wabathinan. Hal ini sesuai dengan yang senantiasa dikumandangkan suatu panggilan “FAFIRRUU ILALLOOH” (Larilah kembali kepada Alloh).
Ajakan tersebut tidak hanya dengan bentuk ajakan yang bersifat informatif seperti hanya penyampaian amalan, ajaran atau bimbingan saja, akan tetapi juga dengan bentuk pembimbingan praktis. Misalnya tekanan-tekanan tentang penerepan ikhlash LILLAH, iman / tauhid BILLAH, ittiba’ kepada Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wasallam (LIRROSUL), dan kepercayaan serta rasa penerimaan jasa dari Beliau Shollalloohu ‘alaihi wasallam (BIRROSUL) sangat diperhatikan. Tekanan terhadap penerapan tauhid BILLAH di sini tidak berarti memberi kelonggaran dalam pelaksanaan syari’at atau amaliah lahiriah. Karena penerapan LILLAH, LIRROSUL dan seterusnya adalah pelaksanaan syari’at. Sangat tidak dibenarkan dalam Ajaran Wahidiyah seseorang yang beranggapan bahwa jika sudah menerapkan BILLAH (haqiqat) diperbolehkan meninggalkan syari’at.
Ajaran Wahidiyah bukan merupakan ajaran atau aliran baru yang menyimpang dari ajaran Islam; melainkan berupa bimbingan praktis yang dirumuskan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam melaksanakan tuntunan Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wasallam. Meliputi bidang Iman, bidang Islam dan bidang Ihsan. Mencakup segi syari’ah, segi haqiqah dan segi akhlaq.Sebelum kita membahas satu persatu pengertian dan bagaimana penerapan AJARAN WAHIDIYAH, marilah kita renungkan dan kita fikirkan lebih dahulu tentang fungsi manusia dihidupkan oleh ALLOH Subhanahu Wata’ala di dunia ini.
Kita perhatikan firman ALLOH Subhanahu Wata’ala Artinya kurang lebih :  “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat : “Sesungguhnya AKU hendak menjadikan kholifah di muka bumi” (2- Al Baqoroh : 30)
Yang dimaksud “Kholifah” adalah Nabi Adam ‘Alaihissalam yang menurunkan seluruh ummat manusia. Jadi setiap manusia, sebagai keturunan Nabi Adam ‘Alaihissalam dengan sendirinya sebagai ahli warisnya dan sekaligus menjadi Kholifah ALLOH di muka bumi. Secara Adami berarti setiap manusia mempunyai tugas kewajiban dan tanggung jawab menjalankan kekholifahan. Sebagai Kholifah ALLOH di bumi ummat manusia diberi tugas mengatur kehidupan dunia ini agar menjadi kehidupan yang baik dan benar yang diridloi ALLOH Subhanahu Wata’ala
Di dalam menjalankan fungsinya sebagai Kholifah ALLOH di muka bumi, manusia tidak bebas begitu saja tanpa arah, melainkan harus mengikuti haluan garis besar dan tujuan pokok yang harus dituju. Antara lain seperti yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an Surat no. 51 Adz- Dzaariaat Ayat 56 : Artinya kurang lebih :
“Dan tiada AKU menciptakan jin dan manusia melain-kan agar supaya mereka beribadah mengabdikan diri kepada-KU” (51-Adz Dzaariyat : 56)
Jadi segala perbuatan dan tingkah laku manusia dalam segala keadaan, situasi dan kondisi yang bagaimanapun, hidup di dunia ini harus diarahkan untuk pengabdian diri (beribadah) kepada ALLOH Subhanahu Wata’ala semata-mata karena ALLOH (LILLAH) sebagai pelaksanaan tugas “LIYA’BUDUUNI”.
Shahabat Ibnu Abbas Radliyallohu ‘anhuma seorang mufassir Al Qur’an yang terkenal sejak zaman Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wasallam, menafsirkan kalimat “Liya’buduuni” dalam ayat tersebut dengan “Liya’rifuuni”. Artinya agar supaya jin dan manusia ma’rifat, mengenal atau sadar kepada-KU (ALLOH). Menurut Syekh Al-Kalabi disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, “Liya’buduni” ditafsiri “Liyuwahhiduuni”. Artinya agar men-tauhid-kan (memahaesakan)_AKU. Dua penafsiran tersebut ada keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk men-tauhid-kan Alloh Subhanahu Wata’ala harus mengenal-NYA lebih dulu. Mana mungkin seseorang men-tauhid-kan Alloh Subhanahu Wata’ala sebelum mengenal-NYA. Jadi segala hidup dan kehidupan manusia (dan jin) menurut tafsir ini harus sepenuhnya diarahkan atau sebagai sarana untuk ma’rifat atau mengenal ALLOH Subhanahu Wata’ala Sang Maha Pencipta sampai bisa menyadari, meyakini dan mengi’tikadkan dalam hati bahwa segala sesuatu yang tercipta adalah ALLOH Subhanahu Wata’ala Sang Maha Pencipta-lah yang menciptakannya, sehingga dalam hati mengakui dan merasa bahwa pada hikikatnya tiada daya dan kekuatan melainkan dari ALLOH Subhanahu Wata’ala. Dalam istilah lain senantiasa men-tauhidkan (memaha-esakan) kepada ALLOH atau menerapkan BILLAH;
Begitu pula ummat manusia tidak mungkin bisa melaksanakan pengabdian diri kepada ALLOH (LILLAH) dan man-tauhid-kan BILLAH sesuai dengan ridlo-NYA tanpa adanya pembimbing. Maka untuk membimbingnya ALLOH Subhanahu Wata’ala memilih di antara hamba-hamba-NYA dijadikan Nabi Pemimpin ummat, dan diantara Nabi-Nabi ada yang ditetapkan sebagai Rosul Utusan-NYA dengan dibekali Kitab Suci sebagai tuntunan hidup bagi ummat manusia. Nabi dan Utusan ALLOH Subhanahu Wata’ala yang terakhir adalah Junjungan kita Nabi Besar Muhammad Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wasallam dengan Kitab Suci Al-Qur’an sebagai pedoman dan tuntunan hidup manusia sampai akhir zaman / Yaumil qiyaamah.
Dengan diutusnya Beliau Shollalloohu ‘alaihi wasallam ummat manusia diwajibkan menyaksikan bahwa Beliau Shollalloohu ‘alaihi wasallam sebagai Utusan Alloh dan mentaati atas perintah-perintahnya. Dalam pelaksanaan taat kepada Beliau disamping pelaksanaan amaliah lahiriyah tidak kalah pentingnya penataan niat / tujuan dalam batin / hati. Yakni dalam pelaksanaan taat secara lahiriyah disamping didasari ibadah semata-mata karena ALLOH (LILLAH) juga harus disertai tujuan mengikuti / mentaati Rosululloh (LIRROSUL). Penerapan seperti inilah yang dibimbingkan pula dalam Ajaran Wahidiyah.
Jasa seseorang tidak boleh diabaikan / dilupakan, melainkan harus diakuinya dan disyukuri, baik dengan ucapan dan perbuatan maupun dengan pengakuan / perasaan batin. Lebih-lebih jasa atas diperolehnya suatu ni’mat dan anugerah yang amat besar nilainya. Yakni karunia iman dan islam. Padahal dari sekian makhluq yang ada di alam ini tiada satupun yang berjasa kepada kita manusia melebihi jasa Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wasallam yang “rahmatan lil’alamiin”. Tiada satupun amal kebaikan yang terlepas dari jasa Beliau Shollalloohu ‘alaihi wasallam. Untuk itu setiap kita melakukan amal kebaikan seharusnya tidak melupakan jasa Beliau , bahkan harus selalu merasa bahwa segala kebaikan yang kita lakukan dan kita terima atas jasa Beliau Shollalloohu ‘alaihi wasallam. Istilah Wahidiyah selalu menerapkan BIRROSUL.
Tiada seorang pun yang hidup di alam ini yang tidak memerlukan atau tidak berhubungan pihak lain. Kelahirannya saja di alam fana ini sudah memerlukan banyak pihak. Setiap ada hubungan dengan pihak lain di situ pasti timbul dengan sendirinya suatu hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Penyimpangan dan penyalahgunaan dalam pemenuhan hak dan kewajiban adalah suatu kezhaliman. Kezhaliman yang dilakukan oleh seseorang akan mengakibatkan gelapnya hati dan penghalangnya pintu kesadaran, keimanan, ketaqwaan kepada Dzat Maha Suci serta akan memperberat tuntutan di alam baqa’ nanti. Dalam Wahidiyah diberi bimbingan secara garis besar tentang kewajiban pemenuhan hak terhadap pihak lain yang diistilahkan dengan YUKTII KULLA DZII HAQQIN HAQQOH (memberikan suatu hak kepada yang berhak menerimanya) dengan prinsip TAQDIIMUL AHAM FAL-AHAM TSUMMAL-ANFA’FAL-ANFA’ (mendahulu-kan sesuatu yang lebih penting (aham) dan yang lebih besar manfa’atnya (anfa’)).
Penjelasan tentang apa yang diuraikan dalam muqaddimah ini Insya Alloh akan dibahas lebih luas di bawan ini. Mudah-mudahan bermanfa’at dan diriloinya fid-diini wad-dun-ya wal-akhirah. Amiin.


Tidak ada komentar: